Qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs mulai berkembang dan menyebar luas pada masa pemerintahan Turki Utsmani yang didukung oleh banyaknya cetakan Al-Qur’an dari Arab Saudi sampai menyebar ke seluruh dunia, waktu penyebarannya terutama pada musim-musim haji.
Gharib menurut bahasa artinya tersembunyi atau samar, sedangkan menurut istilah Ulamaqurra’, gharib artinya sesuatu yang perlu penjelasan khusus dikarenakan samarnya pembahasan atau karena peliknya permasalahan baik dari segi huruf, lafadz, arti maupun pemahaman yang terdapat dalam Al-Qur’an. Adapun bacaan-bacaan yang dianggapgharib (tersembunyi/samar) dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs diantaranya adalah : Imalah, Isymam, Saktah, Tashil, Naql, Badal dan Shilah.
Perbedaan bacaan-bacaan dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs dengan Imamqira’ah yang lain adalah lebih pada letak bacaan-bacaan tersebut. Berikut penjelasan tentang bacaan gharib menurut Imam Ashim riwayat Hafs :
1. Imalah
Imalah menurut
bahasa berasal dari wazan lafadz أَمَالَ yaitu أَمَالَ – يَمِيْلُ –
إِمَالَةًyang artinya memiringkan atau membengkokan, sedangkan menurut
istilah yaitu memiringkan fathah kepada kasrah atau memiringkan alif kepada ya’.
Bacaanimalah banyak dijumpai pada qira’ah Imam
Hamzah dan Al-Kisa’i, diantaranya pada lafadz-lafadz yang diakhiri oleh alif
layyinah, contoh: الضُّحٰى قَلٰى، سَجٰى، هُدَى, . Sedangkan pada
riwayat Imam Hafs hanya ada satu lafadz yang harus dibacaimalah yaitu
pada lafadz مَجْرٰىهَا dalam QS. Hud:
41 :
وَقَالَ ارْكَبُواْ
فِيْهَا بِسْمِ اللَّهِ مَجْرىٰهَا وَمُرْسٰهَآ ۚ إِنَّ رَبِّى لَغَفُورٌ
رَّحِيمٌ
Sebab-sebab di-Imalahkannya lafadz “مَجْرٰىهَا” diantaranya adalah untuk membedakan
antara lafadz “مَجْرٰىهَا” yang artinya
berjalan di darat dengan lafadz “مَجْرٰىهَا”
yang artinya berjalan di laut. Dalam salah satu kamus bahasa arab dijelaskan
bahwa lafadz “مَجْرٰىهَا” berasal dari lafadz
“جَرٰى” yang artinya berjalan atau mengalir dan
lafadz tersebut dapat dipakai dalam arti berjalan di atas daratan maupun
berjalan di atas lautan (air), namun kecenderungan perjalanan di permukaan laut
(air) tidak stabil seperti halnya di daratan. Terkadang diterjang ombak kecil
dan besar atau terhempas angin, sehingga sangat tepat apabila lafadz “مَجْرٰىهَا” tersebut di-Imalahkan.
2. Isymam
Isymam artinya
mencampurkan dammah pada sukun dengan memoncongkan bibir atau mengangkat dua
bibir. Dalam qira’ah riwayat Hafs, Isymam terdapat
pada lafadz “لَا تَأْمَنَّا” yaitu pada waktu
membaca lafadz tersebut, gerakan lidah seperti halnya mengucapkan lafadz “لَا تَأْمَنُنَا” sehingga hampir tidak ada perubahan bunyi
antara mengucapkan lafadz “لَا تَأْمَنَّا”
dengan mengucapkan “لَا تَأْمَنُنَا”.
Dengan kata lain, asal dari lafadz “لَا تَأْمَنَّا”
adalah lafadz “لَا تَأْمَنُنَا”. Kalau diteliti
lebih dalam, ternyata rasm utsmani hanya menulis satu nun yang
bertasydid. Ada pertanyaan muncul, dimana letak dammahnya?sehingga untuk
mempertemukan kedua lafadz tersebut dipilihlah jalan tengah yaitu bunyi bacaan
mengikuti rasm, sedangkan gerakan bibir mengikuti lafadz asal.
Dalam qira’ah imam Ibnu Amir
riwayat As-Susy, bacaan isymam dikenal dengan sebutan idgham
kabir, yaitu bertemunya dua huruf yang sama dan sama-sama hidup lalu melebur
menjadi satu huruf bertasydid. Dalam qira’ah Imam Ashim
riwayat Hafs, hanya dikenal satu idgham saja, yaitu idgham shaghir yakni
mengidghamkan dua huruf yang sama yang salah satunya mati. Menurut bahasa,
bahwa lafadz “لَا تَأْمَنَّا” dapat difahami berasal
dari lafadz “لَا تَأْمَنُنَا” yang terdapat duanun yang
diidharkan, nun yang pertama di rafa’kan dan yang
kedua dinashabkan.Nun yang pertama dirafa’kan karena
termasuk fi’il mudlari yang tidak kemasukan “amil nawashib”
maupun jawazhim.
3. Saktah
Saktah menurut
bahasa berasal dari wazan lafadz سُكُوْتًا يَسْكُتُ - سَكَتَ – yang artinya diam, tidak bergerak.
Sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah, saktah ialah
berhenti sejenak sekedar satu alif tanpa bernafas. Dalam qira’ah Imam
Ashim riwayat Hafs bacaan saktah terdapat di empat tempat
yaitu : QS. Al-Kahfi: 1, QS. Yaasiin: 52, QS. Al-Qiyamah: 27 dan QS.
Al-Muthafifin: 14.
Saktah pada
QS. Al-Kahfi: 1, menurut segi kebahasaan susunan kalimatnya sudah sempurna.
Dengan kata lain, jika seorang qari’ membaca waqaf pada
lafadz عِوَجًا, sebenarnya sudah
tepat karena sudah termasuk waqaf tamm. Namun apabila dilihat dari
kalimat sesudahnya, ternyata ada lafadz قَيِّمَا sehingga
arti kalimatnya menjadi rancu atau kurang sempurna.
Lafadz قَيِّمَا bukanlah
menjadi sifat/na’at dari lafadz عِوَجًا,
melainkan menjadi halatau maf’ul bihnya lafadz
lafadz عِوَجًا. Apabila lafadz قَيِّمَا menjadi na’atnya lafadzعِوَجًا akan mempunyai arti : “Allah tidak
menjadikan al-Quran sebagai ajaran yangbengkok serta lurus”. Sedangkan
apabila menjadi hal atau maf’ul bih akan
menjadi : “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok,
melainkan menjadikannya sebagai ajaran yang lurus “. Menurut Ad-Darwisy,
kataقَيِّمًا dinashabkan sebagai hal (penjelas)
dari kalimat وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا ,
sedang Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa kata tersebut dinashabkan lantaran
menyimpanfi’il berupa ” جَعَلَهُ “.
Berbeda juga dengan pendapat Abu Hayyan, menurutnya kataقَيِّمًا itu badal mufrad dari badal
jumlah “وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا “.
Tidak mungkin seorangqari’ memulai bacaan (ibtida’)
dari قَيِّمًا, sebagaimana juga
tidak dibenarkan meneruskan bacaan (washal) dari ayat sebelumnya. Dengan
pertimbangan alasan-alasan diatas, baik diwaqafkan maupun diwashalkan sama-sama
kurang tepat, maka diberikanlah tanda saktah.
Pada saktah QS. Yaasiin: 52
di dalam kalimat: مِنْ مَرْقَدِنَا سكتة هَذَا
مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ. Menurut Ad-Darwisy lafadz هٰذَا itu mubtada’ dan khabarnya
adalah lafadz مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ .
Berbeda halnya dengan pendapat Az-Zamakhsyari yang menjadikan lafadz هٰذَا itu na’at dari مَرْقَدِ, sedangkan مَا sebagai mubtada’ yang khabarnya
tersimpan, yaitu lafadz حق atau هٰذَا. Dari segi makna, kedua alasan penempatansaktah tersebut
sama-sama tepat. Pertama, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan:
“Siapakah yang membangkitkan dari tempat tidur kami (yang) ini. Apa yang
dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Kedua, orang
yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan
kami dari tempat tidur kami. Inilah yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh
para rasul ini pasti benar”. Dengan membaca saktah,
kedua makna yang sama-sama benar tersebut bisa diserasikan, sekaligus juga
untuk memisahkan antara ucapan malaikat dan orang kafir.
Adapun lafadz مَنْ dalam
QS. Al-Qiyamah: 27 pada kalimat مَنْ سكتة رَاقٍ dan lafadzبَلْ dalam
QS. Al-Muthafifin: 14 pada kalimat بَلْ سكتة رَانَ adalah untuk menjelaskan fungsi مَنْ sebagai kata tanya dan fungsi بَلْ sebagai penegas dan juga untuk memperjelas idharnya lam dan nun,
sebab apabila lam dan nun bertemu denganra’ seharusnya
dibaca idgham, namun karena lafadz مَنْ dan بَلْ dalam kalimat مَنْ سكتةرَاقٍ dan بَلْ سكتة رَانَ mempunyai
makna yang berbeda, maka perlu dipisahkan (diidharkan) dengan
waqaf saktah.
Di samping itu, Imam Ashim juga menganjurkan
membaca saktah, pertama, pada akhir QS. Al-Anfaal:75 dan permulaan QS.
At-Taubah. Alasannya secara bahasa dipakai untuk memilah dua surat yang berbeda
yang mana permulaan surat At-Taubah tidak terdapat atau diawali dengan
basmalah. Kedua, pada QS. Al-Haqqah: 28-29 dimaksudkan untuk membedakan
dua ha’ yakni ha’ saktah مَالِيَهْdan ha’ fi’il هَّلَكَ.
4. Tashil
Tashil menurut
bahasa artinya memberi kemudahan, keringanan atau menyederhanakan hamzah qatha’ yang
kedua, adapun menurut istilah qira’ahartinya membaca antara hamzah
dan alif . Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs hanya ada
satu bacaan tashil yaitu pada QS. Fusshilat: 44
وَلَوْ جَعَلْنٰهُ قُرْءَانًا أَعْجَمِيًّا
لَّقَالُوا۟ لَوْلَا فُصِّلَتْ اٰيٰتُهُۥٓ ۖ ءَاَعْجَمِىٌّ وَعَرَبِىٌّ
...
5. Naql
Naql menurut
bahasa berasal dari lafadz نَقَلَ – يَنْقِلُ –
نَقْلًا yang artinya memindah, sedangkan menurut istilah
ilmu qira’ah artinya memindahkan harakat ke huruf sebelumnya.
Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs ada satu bacaan naql yaitu
lafadz بِئْسَ الْاِسْمُ pada QS.
Al-Hujurat: 11. Alasan dibaca naql pada lafadz الْاِسْمُadalah karena adanya dua hamzah washal,
yakni hamzah al ta’rif dan hamzahismu yang
mengapit lam, sehingga kedua hamzah tersebut tidak terbaca apabila
disambung dengan kata sebelumnya. Faidahnya bacaan naql ialah
untuk memudahkan dalam mengucapkannya atau membacanya.
6. Badal (Mengganti)
Badal menurut
bahasa artinya mengganti, mengubah, sedangkan maksudbadal disini
adalah mengganti huruf hijaiyah satu dengan huruf hijaiyah lainnya.
Diantara lafadz-lafadz yang di badal dalam Al-Qur’an menurut
Imam Ashim riwayat Hafs yaitu :
1. Badal ء dengan ي (فِي السَّمٰوٰتِ ائْتُوْنِيْ)
Yaitu mengganti hamzah mati dengan ya’, sebagian
besar imam qira’ahsepakat mengganti hamzah qatha’ yang
tidak menempel dengan lafadz sebelumnya dan jatuh sesudah hamzah washal
dengan alif layyinah (ى).
Contoh pada QS. Al-Ahqaf : 4,
…أَمْ لَهُمْ شِرْكٌۭ فِى ٱلسَّمٰوٰتِ ۖ ٱئْتُونِى
بِكِتَٰبٍۢ…
2. Badal ص dengan س (وَيَبْصُۜطُ dan بَصْۜطَةً )
Yaitu mengganti shad dengan siin, sebagian
imam qira’ah termasuk Imam Ashim mengganti ص dengan س pada
lafadz وَيَبْصُۜطُ dalam QS.
Al-Baqarah : 245 dan lafadz بَصْۜطَةً dalam
QS. Al-A’raf : 69. Sebab-sebab digantinya huruf shaddengan siin pada
kedua lafadz tersebut karena mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu بَسَطَ – يَبْسُطُ.
Sedangkan pada lafadz بِمُصَيْطِرٍ dalam QS. Al-Ghasyiyah : 22,
huruf صtetap dibaca shad karena
sesuai dengan tulisan dalam mushaf (rasm utsmani) dan menyesuaikan
sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’) yang
mempunyai sifat isti’la’. Adapun pada lafadz ٱلْمُصَۣيْطِرُونَ dalam QS. At-Thur : 37, huruf ص boleh tetap dibaca shad dan
boleh dibaca siin karena, pertama, mengembalikan pada asal
lafadznya, yaitu سَيْطَرَ – يُسَيْطِرُ ,
kedua, menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’)
yang mempunyai sifat isti’la’.
7. Shilah
Menurut ijma’ para ulama qurra’,
bahwa apabila ada ha’ dlamir yang tidak diawali dengan huruf
mati, maka ha’ dlamir tersebut harus dibaca panjang dan perlu
ditambahkan huruf mad setelahnya, alasannya untuk menguatkan
huruf ha’ dlamir tersebut karena tidak alasan yang
mengharuskan membuang huruf setelahha’ dlamir ketika huruf
sebelumnya hidup (berharakat). Namun para ulama qurra’kecuali Ibnu
Katsir kurang senang menggabungkan dua huruf mati yang dipisah oleh huruf lemah
(ha’), sehingga mereka membuang huruf mad dan
memanjangkan ha’ dlamirnya, contoh لَهُ،
بِهِ, ini adalah madzhab imam Sibawaih. Sedangkan apabila ha’
dlamir tersebut diawali dengan huruf yang mati (sukun) maka harus
dibaca pendek, contoh مِنْهُ، إِلَيْهِ.
Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat
Hafs ada satu ha’ dlamir yang tetap dibaca panjang walaupun
diawali dengan huruf mati, yaitu pada kalimat وَيَخْلُدْ
فِيْهٖ مُهَانًا dalam QS. Al-Furqan : 69. Pada masalah ini, Imam Ashim
riwayat Hafs sama bacaannya dengan Ibnu Katsir, yakni membaca shilah
ha’ (فِيْهٖ ). Karena
diketahui bahwa ha’termasuk huruf lemah seperti halnya hamzah,
sehingga apabila ha’ berharakat kasrah, maka sebagai ganti
dari wawu mati adalah ya’ dimaksudkan untuk
menguatkan huruf ha’, sehingga menjadi فِيْهِي . Dalam literatur orang Arab sendiri jarang sekali
ditemui wawu mati yang diawali kasrah.
Alasan ha’ dibaca panjang pada
lafadz فِيْهٖ dalam QS.
Al-Furqan : 69 adalah untuk mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu ـه berasal dari lafadz هُوَ dan ketika disambung dengan
lafadz فِيْ akan
menjadi فِيْهُوَ , namun
karena ha’ dlamirtersebut diawali dengan ya’ mati
yang sebenarnya identik dengan kasrah, sehingga harakat ha’ perlu
disesuaikan dengan harakat sebelumnya dan merubah huruf mad berupa wawu menjadi ya’ untuk
menyesuaikan dengan kasrah maka menjadi فِيْهِي dan
huruf mad berupa ya’ dirubah dengan kasrah
berdiri, jadilah lafadz فِيْهٖ .
Ada juga yang menyebutkan bahwa ha’ yang terdapat pada
lafadz فِيْهٖdalam QS. Al-Furqan : 69
adalah ha’ khafdli artinya ha’ panjang yang
berfungsi merendahkan, hal ini sesuai dengan konteks ayat yang menghendaki
dipanjangkannya huruf ha’ dlamir tersebut.
Ada juga ha’ dlamir yang dibaca
pendek walaupun diawali dengan huruf mati yaitu dengan membaca ha’
dlamir berharakat dammah tanpa shilah. Lafadz-lafadz
tersebut diantaranya terdapat pada lafadz يَرْضَهُ
لَكُمْ dalam QS. Az-Zumar : 7. Alasan dibaca pendek ha’
dlamir berharakat dammah pada lafadz يَرْضَهُ
لَكُمْ dan lafadz-lafadz sejenisnya adalah untuk mengembalikan
pada rasm mushaf yang tidak ada wawu madnya
sesudah ha’ dlamir.
Lain halnya dengan lafadz عَلَيْهُ dalam QS. Al-Fath : 10, disini terdapat ha’ dlamiryang
dibaca dammah walaupun jatuh setelah ya’ mati. Hal ini terkait
denganasbabunnuzul ayat tersebut yang intinya tentang sifat
memenuhi janji setia kepada Nabi dan berjihad di jalan Allah. Sifat memenuhi
janji tersebut merupakan sifat yang luhur mulia dan luhur (rif’ah). Dan
penempatan harakat dammah pada lafadz عَلَيْهُ memberikan
nuansa kemuliaan dan keagungan sifat (akhlak). Karena suasana sosiologis dan
keberadaan lafadz tersebut berada pada ayat yang menunjukkan kemuliaan dan
keluhuran. Sehingga ada ulama yang menyebutkan bahwa ha’ dlamir tersebut
disebut sebagai ha’ rif’ah (ha’ keluhuran).
Penjelasan Bacaan Gharib dalam
Al-Qur'an| Dalam qira’ah Imam
Ashim riwayat Hafs juga terdapat bacaan-bacaan lain yang dianggap gharib, akan
tetapi lebih pada tulisan atau rasmnya (rasm utsmani) dan
cara membacanya. Bacaan-bacaan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Lafadz-lafadz
yang dibaca pendek ketika washal dan panjang ketikawaqaf (قصر dan مد)
a. Lafadz
( اَنَا )
Sebab-sebab lafadz اَنَا dibaca
pendek ketika washal (اَنَ)
kecuali lafadz اَنَابَ, اَنَابُوْا, اَنَاسِيَّ,
الْاَنَامِلَ, adalah karena fungsi alif tersebut hanya sebagai penjelas
harakat seperti halnya menambahkan ha’ ketika
waqaf (ha’ sakt). Disamping itu juga, apabila ada isim yang
hurufnya sedikit lalu di baca waqaf dengan sukun, maka
suaranya akan terlihat janggal, sehingga ditambahkanlah alifsupaya
suara nun tetap sebagaimana asal lafadznya.
Sedangkan tidak ditambahkannya alif pada
waktu membaca washal pada lafadz tersebut adalah karena nun sudah
berharakat. Ada juga lafadz yang cara membacanya hampir sama dengan
lafadz اَنَا yaitu
lafadz لٰكِنَّا pada QS.
Al-Kahfi : 38, yakni apabila lafadz لٰكِنَّا dibaca washal maka nun harus
dibaca pendek( لٰكِنَّ ),sedangkan
apabila dibaca waqaf maka nun tetap dibaca
panjang (لٰكِنَّا). Hal ini karena
lafadz لٰكِنَّا berasal dari
lafadz أناdan lafadz لكن.
b. Lafadz الرَّسُوْلَا، الظُّنُوْنَا، قَوَارِيْرَا
c. Lafadz مالك pada QS. Al-Fatihah: 4 dan ملك pada QS. An-Nas: 2
Qira’ah Imam
Ashim riwayat Hafs membaca mim dengan alif (panjang)
pada lafadz مالك dalam QS.
Al-Fatihah: 4, sedangkan beberapa Imam qira’ah yang lain
membaca tanpa alif (pendek). Alasan Imam Ashim riwayat Hafs membaca
dengan alif (panjang) adalah karena ada
kaitannya dengan lafadzمالك الملك pada
QS. Ali Imran: 26 yaitu قل اللهم مالك
الملك dan bukan tanpa alif yaituملك
الملك juga karena lafadz مالك berarti dzat yang memiliki, sedangkan lafadzملك berarti tuan atau penguasa, tidak
seperti halnya dalam lafadz ملك الناس (tanpa
alif) yang artinya Tuhan manusia dan hal itu tidak sesuai dengan makna untuk
kata hari pembalasan يوم الدين .
Jadi, lafadz مالك pada
QS. Al-Fatihah: 4 dengan lafadz ملك pada
QS. An-Nas: 2 tidaklah sama dalam membaca mimnya, terutama karena
perbedaan segi maknanya sehingga dibedakan cara membacanya, walaupun beberapa
Imam qira’ah selain Imam Ashim dan Al-Kisa’i membaca kedua lafadz tersebut
sama-sama pendek ( ملك ).
2. Dibolehkannya
membaca fathah atau dammah pada ض dalam
lafadzضعْف
Adapun Imam Hafs, membaca dlad pada
lafadz ضعْف dengan fathah dan
dammah. Hal ini disebabkan karena dalam ilmu sharaf, lafadz ضعُف – يضعَفmempunyai dua masdar yaitu
lafadz ضَعْف dan lafadz ضُعْف, seperti halnya lafadzفقر yang juga mempunyai dua masdar yaitu
lafadz فَقْر dan lafadz فُقْر. Sehingga menurut qira’ah Imam
Hafs huruf dlad pada lafadz ضعْف boleh
dibaca fathah dan boleh dibaca dammah.
3. Rahasia
permulaan Surat At-Taubah
Penjelasan Bacaan Gharib dalam
Al-Qur'an| Dalam
Mushaf Al-Qur’anrasm usmani, semua permulaan surat diawali dengan basmalah kecuali
surat At-Taubah. Hal ini karena ada beberapa pendapat yang terkait dengan tidak
ditulisnya basmalah pada permulaan surat At-Taubah. Pendapat pertama,
bahwa Sahabat Ubay bin Ka’ab berkata : Rasulullah saw. pernah menyuruh kami
menulis basmalah di awal setiap surat dalam Al-Qur’an, dan
beliau tidak memerintahkan kami menulisnya di awal surat At-Taubah. Maka sebab
itu, surat tersebut digabungkan dengan surat Al-Anfal dan hal itu lebih utama
karena adanya keserupaan diantara keduanya. Sedangkan pendapat yang kedua,
bahwa Imam Ashim berkata: Basmalah tidak ditulis di awal surat
At-Taubah, disebabkan karena bacaan basmalah itu berisi
tentang rahmat atau kasih sayang, sedangkan surat At-Taubah
merupakan surat tentang azab atau siksaan kepada orang-orang
musyrik.
Penjelasan Bacaan Gharib dalam
Al-Qur'an| Adapun
hukum tentang membaca basmalah pada permulaan surat At-Taubah
diantaranya adalah, Imam Ibnu Hajar dan al-Khatib mengharamkan membaca basmalah di
awal surat At-Taubah dan memakruhkan membacanya di tengah surat. Sedangkan Imam
Ramli dan para pengikutnya memakruhkan membaca basmalah di
awal surat At-Taubah dan mensunnahkan membacanya di tengah surat sebagaimana
surat-surat dalam Al-Qur’an yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar